Perkembangan Konten Keislaman di Era Digital Indonesia
Oleh Masduki Baidlowi
Ketua MUI Pusat Bidang Informasi dan Komunikasi*
Transformasi Digital dalam Pembelajaran Agama
Di era digital saat ini, pola belajar agama mengalami pergeseran signifikan dari metode konvensional ke platform digital. Generasi muda kini lebih banyak belajar agama melalui internet dan media sosial. Menurut survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta tahun 2017, sekitar 50,9% pelajar dan mahasiswa mencari pengetahuan agama melalui internet dan media sosial — angka ini melampaui penggunaan buku (48,6%).
Perkembangan ini sejalan dengan penetrasi internet di Indonesia yang mencapai 79,5% dari populasi pada awal 2024. Fenomena “Ustaz Google” dan penggunaan Artificial Intelligence (AI) untuk menjawab pertanyaan keagamaan telah mengubah lanskap belajar Islam menjadi lebih personal dan instan melalui ruang digital.
Media Sosial sebagai Mimbar Dakwah Baru
Platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok kini menjadi arena dakwah yang efektif. Ustaz dan pendakwah memanfaatkan fitur live streaming, video pendek, hingga podcast untuk menyampaikan ceramah, kajian fikih, dan tanya-jawab keislaman. Kemudahan ini memungkinkan siapa pun untuk mengakses ilmu agama kapan saja dan di mana saja, menggantikan keterbatasan metode belajar tatap muka.
Dampak Positif Digitalisasi Konten Keislaman
Digitalisasi memberikan akses luas terhadap informasi keagamaan:
- Ceramah ulama bisa diakses secara daring,
- Tafsir Al-Qur’an dan hadits tersedia dalam aplikasi Islami,
- Masyarakat di daerah terpencil dapat belajar agama dengan mudah.
Selain itu, muncul komunitas Muslim lintas negara melalui grup WhatsApp, Telegram, dan forum online. Solidaritas umat meningkat, termasuk dalam kegiatan penggalangan dana kemanusiaan secara cepat melalui media sosial.
Tantangan: Narasi Konservatif dan Penyebaran Disinformasi
Namun, digitalisasi juga memunculkan tantangan serius. Riset PPIM UIN mencatat bahwa antara 2009–2019, 67,2% narasi keagamaan di media sosial didominasi oleh pandangan konservatif, sementara suara Islam moderat hanya 22,2%.
Konten ekstremis cenderung lebih viral karena algoritma platform media sosial lebih menyukai konten yang provokatif dan kontroversial. Hal ini memperbesar potensi penyebaran:
- Hoaks keagamaan,
- Hadits palsu,
- Tafsir yang keliru dan memecah belah.
Pemerintah bahkan mencatat telah memblokir 180.954 konten ekstrem dan intoleran selama 2024, mayoritas berupa propaganda jaringan terorisme.
Pentingnya Islam Kebangsaan dalam Menjaga NKRI
Data survei SMRC 2017 menunjukkan bahwa 79,3% warga Indonesia mendukung NKRI berdasarkan Pancasila. Hanya 9,2% yang setuju dengan konsep negara khilafah. Hal ini membuktikan kuatnya dukungan terhadap Islam kebangsaan yang sejalan dengan demokrasi dan keutuhan NKRI.
Organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah terus menanamkan nilai Islam wasathiyah — Islam yang moderat dan cinta tanah air. Mereka memainkan peran strategis dalam membendung ideologi transnasional yang bertentangan dengan konstitusi.
Risiko Belajar Agama Tanpa Sanad di Era Digital
Maraknya “ustaz medsos” yang populer di media sosial namun tidak memiliki sanad keilmuan menjadi perhatian. Tanpa sanad, konten keagamaan bisa menjadi alat penyebar pemahaman dangkal dan bahkan menyesatkan.
Belajar agama secara otodidak dari YouTube atau Google tanpa bimbingan guru berisiko membawa generasi muda ke arah:
- Tafsir sempit dan literal,
- Teori konspirasi,
- Paham radikal.
Strategi Ormas Islam Menghadirkan Dakwah Digital Moderat
NU dan Muhammadiyah aktif mengisi ruang digital dengan konten Islam rahmatan lil ‘alamin melalui:
- Website seperti NU Online,
- Video dakwah di media sosial,
- Tim cyber dakwah (seperti Cyber Army NU),
- Kerja sama dengan Kominfo dan BNPT dalam program deradikalisasi digital.
Keduanya juga mendorong generasi muda untuk membuat konten kreatif (vlog, podcast, infografis) agar narasi Islam moderat bisa bersaing secara efektif dengan konten radikal di dunia maya.
Literasi Digital Keagamaan sebagai Kunci
Masalah utama di masyarakat adalah rendahnya literasi digital keagamaan. Banyak orang belum mampu memilah konten kredibel dari konten menyesatkan. Maka, diperlukan:
- Pelatihan literasi digital untuk da’i dan masyarakat,
- Penguatan kemampuan memverifikasi dalil dan otoritas keilmuan,
- Kampanye edukatif lintas platform.
Kolaborasi Pentahelix: Pemerintah, Ormas, Akademisi, Teknologi, dan Komunitas
Upaya membendung radikalisme digital membutuhkan kerja sama berbagai pihak:
- Pemerintah (BNPT, Kominfo) menggagas program Duta Damai Dunia Maya,
- Ormas mengembangkan konten kontra-narasi,
- Akademisi menyusun modul dakwah berbasis riset dan riset media Islam,
- Platform teknologi harus aktif dalam moderasi konten (fact-checking, filter otomatis).
Rekomendasi Strategis
- Perkuat kehadiran ormas keagamaan di media digital.
- Bentuk tim profesional media sosial yang memahami algoritma dan SEO.
- Latih da’i muda membuat konten dakwah kreatif dan edukatif.
- Kembangkan kurikulum literasi digital religius di kampus.
- Bangun pusat klarifikasi keagamaan berbasis riset untuk menangkal hoaks.
- Lakukan sinergi lintas sektor melalui pendekatan pentahelix.
Penutup: Islam Wasathiyah sebagai Pilar Persatuan Indonesia
Digitalisasi konten keislaman adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, membuka peluang dakwah luas, namun di sisi lain rentan disusupi ideologi radikal. Oleh karena itu, Islam wasathiyah harus menjadi arus utama narasi keislaman di dunia digital.
Pemahaman keislaman yang moderat, toleran, dan cinta tanah air adalah penopang utama demokrasi dan persatuan nasional. Generasi muda, ormas, akademisi, dan pemerintah perlu bersatu menjaga ruang digital dari penyebaran ide-ide yang menyimpang.
Dengan visi bersama, konten keislaman digital dapat menjadi alat dakwah pencerah, bukan penyebar kebencian — memperkuat tatanan sosial yang inklusif dan religius di Indonesia.
Catatan:
Materi ini disampaikan oleh Masduki Baidlowi dalam acara “Pelatihan Standarisasi Pentashihan Buku dan Konten Keislaman MUI”, 16 Juni 2025 di Kantor BRIN, Jakarta.