Oleh Aat Surya Safaat*
Ketika Bung Hatta ditahan penjajah Belanda di penjara Boven Digul (Papua), ia menulis buku fenomenal Mendayung Antara Dua Karang, yang kemudian menjadi dasar politik luar negeri Indonesia: bebas aktif. Sementara Bung Karno, saat ditahan di Sukamiskin, Bandung, juga menulis Di Bawah Bendera Revolusi, karya yang hingga kini menginspirasi generasi muda dengan nilai luhur perjuangan.
Apa motivasi kedua Founding Fathers ini? Jawaban mereka sederhana namun penuh makna: “Bangsa Indonesia ke depan harus menjadi lebih baik!”
Kisah ini saya sampaikan agar kita semua, terutama mahasiswa, menyadari: menulis bukan sekadar aktualisasi diri. Menulis adalah cara membawa pesan, cita-cita, dan idealisme demi masa depan bangsa.
Bahkan, tak ada istilah terlambat untuk menulis. Andrea Hirata baru menulis di usia 40 tahun. Karyanya, Laskar Pelangi, menjadi best seller dan diangkat ke layar lebar, menginspirasi jutaan orang.
Di dunia kampus, banyaknya tulisan yang terbit di jurnal ilmiah menjadi salah satu indikator kualitas perguruan tinggi. Bahkan, kampus bisa dikatakan berkelas dunia jika karya dosen dan mahasiswanya menembus jurnal internasional.
Namun, sayangnya budaya menulis di kalangan mahasiswa kita masih lemah. Banyak yang menghabiskan waktu untuk aktivitas kurang bermakna, padahal menulis itu bekal penting menuju kecerdasan dan kreativitas.
Permasalahan dan Tantangan
Tulisan terbagi dua: tulisan ilmiah (untuk jurnal akademik) dan tulisan ilmiah populer (untuk media massa). Banyak dosen dan mahasiswa kita yang kesulitan menulis ilmiah, apalagi mengubahnya menjadi ilmiah populer. Akibatnya, karya besar kampus hanya dibaca kalangan akademik, masyarakat umum tak menikmatinya. Inilah yang membuat kampus terkesan jadi menara gading.
Jika tulisan-tulisan itu dapat diolah menjadi ilmiah populer dan dimuat di media, niscaya gagasan kalangan terdidik akan lebih luas manfaatnya.
Writing dalam bahasa Inggris mencakup menulis (kata kerja) dan tulisan (kata benda). Ini adalah proses merekam bahasa ke dalam teks, sebuah budaya yang sudah ada sejak prasejarah, menjadi media komunikasi utama hingga kini.
Budaya Menulis Perlu Dibangun Sejak Dini
Budaya menulis jangan dimulai hanya di perguruan tinggi. Sebaiknya, anak sejak dini sudah akrab dengan menulis. Ini sangat mendukung proses belajar-mengajar dan memperlancar interaksi sosial. Melalui tulisan, kita bisa menyumbangkan gagasan untuk ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, bahkan penyelesaian konflik.
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan mahasiswa menulis di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan, memang memunculkan pro-kontra. Sebab, belum semua universitas siap. Seandainya mahasiswa sudah terbiasa menulis sejak awal kuliah, kebijakan ini tentu tidak menjadi beban.
Yang penting, pendekatan harus menyeluruh: dosen sejahtera, kurikulum mendukung, buku-buku diperbarui, akses digital diperluas.
Menulis Adalah Ibadah
Dalam konteks Al-Qur’an, menulis erat kaitannya dengan perintah membaca. Menulis adalah ibadah, menuangkan pikiran lewat tulisan adalah sedekah. Betapa baik jika budaya menulis bukan hanya di kalangan akademisi, tapi juga di kalangan pengusaha, pejabat, penegak hukum, bahkan ibu rumah tangga.
Imam Ghazali mengingatkan: “Manakala yang dicita-citakan itu baik serta mulia, maka pasti akan sulit ditempuh serta panjang jalannya.”
Dan: “Tidak akan sampai ke puncak kejayaan kecuali dengan kerja keras, dan tidak akan sampai ke puncak keagungan kecuali dengan sopan santun.”
Menulis memang perlu ketekunan. Tapi kita pasti bisa!
*Aat Surya Safaat adalah Direktur Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI dan Wakil Sekretaris Komisi Infokom MUI.